Senin, 30 Januari 2012

Historitas Paradigma PMII


Apabila ditilik secara historis, kiprah PMII dimulai pada tanggal 17 April 1960 sebagai bagian integral dari organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia, NU. Posisi PMII kala itu sebagai sayap NU di ligkup mahasiswa serupa posisi Fatayat di kalangan remaja putri, Muslimat di kalangan ibu-ibu dan IPNU di kalangan pelajar. Sehingga, jika PMII turut mendukung penuh Partai NU di awal berdirinya menjadi suatu hal yang wajar.
Penegasan sikap sempat diambil PMII pada tahun 1974 melalui Deklarasi Munarjati. Keputusan krusial ini menyatakan idependensi PMII dari NU. Dikatakan krusial, sebab PMII telah mengambil pilihan sejarah untuk tidak terlalu campur tangan di tataran partai politik. Meski kemudian pada 1980-an PMII meyatakan Deklarasi Interdepensi. Sebuah bukti bahwa sang anak memang tak bisa jauh dari induknya.
Perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh PMII tersebut sayang sekali jika masih diperdebatkan. Hanya hal-hal kontra produktif yang didapat apabila bahasan seperti itu masuk forum-forum diskusi. Maka, sesuatu yang konkret, yang bersumber dari NDP dan visi misi PMII, mesti terus digalakkan. Lantas, harus dari mana bermula? Menurut hemat penulis, semuanya dimulai dari paradigma, lebih tepatnya kesamaan paradigma. Jelang setengah abad usianya, PMII seharusnya telah matang dalam hal ini.

PEMBAHASAN
Paradigma yang dipakai sebuah gerakan untuk mencapai tujuan bersama menempati posisi yang sangat urgen. Sebab, paradigma inilah yang memandu gerak organisasi, dalam hal ini PMII, ke depannya kelak. Kesamaan paradigma berujung pada kesamaan gerak. PMII yang didirikan dengan visi keislaman dan keindonesiaan sangat perlu menegaskan paradigma gerakannya.
Menurut Hery Haryanto Azumi, mantan ketua PB PMII, perdebatan paradigmatik telah lama terjadi di PMII, bukan saja semenjak periode kepemimpinan Sahabat A. Muhaimin Iskandar ketika kata "paradigma" mulai diperbincangkan di dalam lingkaran-lingkaran kecil (small roups) di kantong-kantong PMII seluruh Indonesia, tetapi juga telah dimulai, barangkali, sejak PMII sendiri berdiri, sekalipun kata paradigma belum digunakan. Masih menurut beliau, perdebatan paradigmatik di PMII masih bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak-maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan sektor-sektor strategis yang memiliki resonansi luas kepada publik.
Jika benar demikian, logikanya, dikotomi kultural-struktural musti dihapuskan dalam mind set aktivis-aktivis PMII. Karena selama ini masih santer terdengar di lingkup warga pergerakan bahwa PMII adalah penjaga gerbang ‘kultural’ dan organisasi semisal HMI sebagai pemain ‘struktural’. Pembedaan semacam ini yang membuat PMII kesulitan menduduki sektor-sektor strategis sebagaimana disebutkan di atas.
Maka, paradigma yang dibangun haruslah berbasis kenyataan Indonesia dalam bingkai dunia. Supaya kelak kesan yang tergambar tidak memperlihatkan kader-kader PMII hanya mampu bergerak di LSM-LSM dan ‘instansi jalanan’ saja serta seolah gagap terhadap birokrasi pemerintahan. Berorientasi pada kekuasaan merupakan suatu hal lazim di era yang serba terbuka ini.

DINAMIKA PARADIGMA PMII
Saat A. Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Ketua PB PMII sempat digelontorkan sebuah paradigma yang terkenal dengan sebuatan ‘paradigma arus-balik masyarakat pinggiran’. Lahirnya paradigma ini tak lepas dari meluasnya pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi dan civil society. Keberanian mengkritik orde baru yang beliau peragakan menginspirasi banyak aktivis PMII. Implikasinya, semangat memperjuangkan demokrasi dan civil society menjadi gairah baru dalam gerakan PMII.
Paradigma arus-balik masyarakat pinggiran harus patah tatkala Gus Dur naik menjadi presiden. Sebagian besar kader PMII mempertanyakan, akankah perjuangan civil society harus berakhir disini? Perpecahan di tubuh PMII terjadi kala itu, sebagaimana juga terjadi di tubuh NU, yakni PMII Struktural dan PMII Kultural. PMII Struktural adalah yang memilih untuk ‘membela’ Gus Dur. Sedang PMII Kultural tetap menempati posnya terdahulu.
Kritis-transformatif menjadi paradigma PMII pasca terpatahkannya paradigma arus-balik masyarakat pinggiran. Bidikan paradigma ini adalah kritisnya kader PMII dan perwujudan ide-ide. Sehingga, bukan sekedar melawan ‘kemungkaran’ tapi juga memberi solusi untuk masalah yang terjadi. Meski begitu, paradigma ini terasa belum ‘peka jaman’. Pasalnya, paradigma ini dan paradigma sebelumnya didesain sebagi resistensi terhadap ‘penindasan’, yang mengabaikan perubahan-perubahn di tingkat global.

PARADIGMA ALTERNATIF
Pendapat Hery Haryanto Azumi tentang paradigma sangat relevan sekali bila dikaji ulang. Menurutnya, paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulatif dan menyesatkan. Dengan selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila peradaban yang hegemonik.
Melihat kenyataan saat ini, Hery sepertinya perlu menawarkan sebuah paradigma alternatif untuk PMII. Bukan melwan arus seperti dua paradigma terdahulu, bukan pula mengikuti arus. Ia menyebutnya paradigma menggiring arus. Dalam hal ini, penulis memiliki kesamaan gagasan dengan paradigma ini.
Secara ringkas, paradigma ini melihat bahwa strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan. Tekanan disini adalah penetrasi struktur global di atas fragmentasi struktur lokal.
Operasionalnya, paradigma ini dapat dimulai dengan langkah sederhana. Dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian seperti pusat kajian pasar bebas, pusat kajian Cina dan sebagainya. Sementara untuk front lokal, dapat dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau untuk membangun jalur-jalur produksi dan distribusi di tingkat lokal yang memungkinkan terjadinya kecukupan di tingkat lokal (nasional) ketika jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front dalam-gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus-menerus menyediakan para pemain untuk didistribusikan di semua front.
Penulis beranggapan, paradigma menggiring arus akan sangat tepat apabila diaplikasikan di masa kini. Paradigma ini diambil dengan pembacaan relita secara terstruktur, perumusan ‘medan tempur’ dan strategi yang jelas. Sehingga, PMII dapat bertahan melewati hari-hari panjangnya membangun peradaban.

PENUTUP
Hakikat pertambahan umur adalah pengurangan umur itu sendiri. Jika saat ini PMII menuju setengah abad usianya, maka sebenarnya waktu yang tersisa untuknya memperjuangkan ide-ide serta merealisasikan visi misi telah berkurang satu tahun. Namun, tidak tepat tentunya jika kita melihat pertambahan umur ini dengan pesimistis. Sebaliknya, jelang setengah abad usia PMII, inilah momentum menuju periode emas.
Adapun hal fundamen yang musti dibenahi di tubuh PMII adalah menyamakan paradigma. Jika realitanya paradigma kritis-transformatif tak begitu berhasil dan mudah dipatahkan. Hadirnya gagasan mengenai paradigma menggiring arus merupakan suatu wacana yang layak diperbincangkan. Mengingat pesatnya laju arus globalisasi beserta kompleksitasnya tersendiri. Tentu semuanya bermuara pada optimalnya perang PMII bagi Islam dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar