Selasa, 31 Januari 2012

Makna Lambang PMII Pencipta Lambang PMII

 Pencipta Lambang;
"H. Said Budairi"



A. BENTUK

1. "Perisai" berarti ketahanan & keampuhan Mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan & pengaruh dari luar.
2. "Bintang" adalah perlambang ketinggian & semangat cita-cita yang selalu memancar.

3. "5 (Lima) Bintang Sebelah Atas" melambangkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (khulafaurrasyidin).

4. "4 (Empat) Bintang Sebelah Bawah" menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama'ah.

5. "9 (Sembilan) Bintang secara keseluruhan" berarti;
a. Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat orang imam madzhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan yang tinggi dan penerang umat manusia,
b. Sembilan bintang juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar agama islam di Indonesia yang disebut dengan Wali Songo.


B. WARNA

1. "BIRU", sebagai tulisan PMII berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan harus digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara.

2. "BIRU MUDA", sebagai dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.

3. "KUNING", sebagaimana perisai sebelah atas berarti Identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kesadaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

Senin, 30 Januari 2012

Paradigma Kritis Transformatif (PKT)

Apakah Paradigma Itu?
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.

Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari MadzhabFrankfurt.
Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalamsosiologi german, Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif, Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund
Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfur, yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi : Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi. Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis, nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi. Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1.    Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2.    Berpikir empiris-historis
3.    Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4.    Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud

Kritik dalam pengertian Kantian
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.

Kritik dalam pengertian Hegelian
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia

Kritik dalam pengertian Marxian
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

Kritik dalam pengertian Freudian
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
1.    bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
2.    berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
3.    tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

 Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
ELEMEN PARADIGMATIK
ASUMSI DASAR
TYPE IDEAL
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi memunculkan dis integrasi sosial
Pandangan hobes mengenai konsep dasar Negara
Imajinasi tentang masyarakat
Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo, anti perubahan
Negara Republic Plato
Imajinasi ilmu pengetahuan
Sistematic, positivistic, kuantitatif dan prediktif.
Fungsionalisme Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Parson
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan

2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
ELEMEN PARADIGMATIK
ASUMSI DASAR
TYPE IDEAL
Imajinasi sifat dasar manusia
Rasional,kooperatif, sempurna
Konsep homo feber hegel
Imajinasi tentang masyarakat
Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia
Negara Republic plato
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan
Materialisme historis marx

Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa : Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.

3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
ELEMEN PARADIGMATIK
ASUMSI DASAR
TYPE IDEAL
Imajinasi sifat dasar manusia
Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif
Konsep kesadaran diri imanuel kant
Imajinasi tentang masyarakat
Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control.
Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan
Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi
Metode Verstehen Weber

Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.

Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
1.        Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegemonik, dominatif, dan eksploitatif. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
2.        Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:

Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisonta.

Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.

Transformasi dari Struktur ke Kultur
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.

 Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).

Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII.

Historitas Paradigma PMII


Apabila ditilik secara historis, kiprah PMII dimulai pada tanggal 17 April 1960 sebagai bagian integral dari organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia, NU. Posisi PMII kala itu sebagai sayap NU di ligkup mahasiswa serupa posisi Fatayat di kalangan remaja putri, Muslimat di kalangan ibu-ibu dan IPNU di kalangan pelajar. Sehingga, jika PMII turut mendukung penuh Partai NU di awal berdirinya menjadi suatu hal yang wajar.
Penegasan sikap sempat diambil PMII pada tahun 1974 melalui Deklarasi Munarjati. Keputusan krusial ini menyatakan idependensi PMII dari NU. Dikatakan krusial, sebab PMII telah mengambil pilihan sejarah untuk tidak terlalu campur tangan di tataran partai politik. Meski kemudian pada 1980-an PMII meyatakan Deklarasi Interdepensi. Sebuah bukti bahwa sang anak memang tak bisa jauh dari induknya.
Perubahan-perubahan yang terjadi di tubuh PMII tersebut sayang sekali jika masih diperdebatkan. Hanya hal-hal kontra produktif yang didapat apabila bahasan seperti itu masuk forum-forum diskusi. Maka, sesuatu yang konkret, yang bersumber dari NDP dan visi misi PMII, mesti terus digalakkan. Lantas, harus dari mana bermula? Menurut hemat penulis, semuanya dimulai dari paradigma, lebih tepatnya kesamaan paradigma. Jelang setengah abad usianya, PMII seharusnya telah matang dalam hal ini.

PEMBAHASAN
Paradigma yang dipakai sebuah gerakan untuk mencapai tujuan bersama menempati posisi yang sangat urgen. Sebab, paradigma inilah yang memandu gerak organisasi, dalam hal ini PMII, ke depannya kelak. Kesamaan paradigma berujung pada kesamaan gerak. PMII yang didirikan dengan visi keislaman dan keindonesiaan sangat perlu menegaskan paradigma gerakannya.
Menurut Hery Haryanto Azumi, mantan ketua PB PMII, perdebatan paradigmatik telah lama terjadi di PMII, bukan saja semenjak periode kepemimpinan Sahabat A. Muhaimin Iskandar ketika kata "paradigma" mulai diperbincangkan di dalam lingkaran-lingkaran kecil (small roups) di kantong-kantong PMII seluruh Indonesia, tetapi juga telah dimulai, barangkali, sejak PMII sendiri berdiri, sekalipun kata paradigma belum digunakan. Masih menurut beliau, perdebatan paradigmatik di PMII masih bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak-maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan sektor-sektor strategis yang memiliki resonansi luas kepada publik.
Jika benar demikian, logikanya, dikotomi kultural-struktural musti dihapuskan dalam mind set aktivis-aktivis PMII. Karena selama ini masih santer terdengar di lingkup warga pergerakan bahwa PMII adalah penjaga gerbang ‘kultural’ dan organisasi semisal HMI sebagai pemain ‘struktural’. Pembedaan semacam ini yang membuat PMII kesulitan menduduki sektor-sektor strategis sebagaimana disebutkan di atas.
Maka, paradigma yang dibangun haruslah berbasis kenyataan Indonesia dalam bingkai dunia. Supaya kelak kesan yang tergambar tidak memperlihatkan kader-kader PMII hanya mampu bergerak di LSM-LSM dan ‘instansi jalanan’ saja serta seolah gagap terhadap birokrasi pemerintahan. Berorientasi pada kekuasaan merupakan suatu hal lazim di era yang serba terbuka ini.

DINAMIKA PARADIGMA PMII
Saat A. Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Ketua PB PMII sempat digelontorkan sebuah paradigma yang terkenal dengan sebuatan ‘paradigma arus-balik masyarakat pinggiran’. Lahirnya paradigma ini tak lepas dari meluasnya pemikiran Gus Dur mengenai demokrasi dan civil society. Keberanian mengkritik orde baru yang beliau peragakan menginspirasi banyak aktivis PMII. Implikasinya, semangat memperjuangkan demokrasi dan civil society menjadi gairah baru dalam gerakan PMII.
Paradigma arus-balik masyarakat pinggiran harus patah tatkala Gus Dur naik menjadi presiden. Sebagian besar kader PMII mempertanyakan, akankah perjuangan civil society harus berakhir disini? Perpecahan di tubuh PMII terjadi kala itu, sebagaimana juga terjadi di tubuh NU, yakni PMII Struktural dan PMII Kultural. PMII Struktural adalah yang memilih untuk ‘membela’ Gus Dur. Sedang PMII Kultural tetap menempati posnya terdahulu.
Kritis-transformatif menjadi paradigma PMII pasca terpatahkannya paradigma arus-balik masyarakat pinggiran. Bidikan paradigma ini adalah kritisnya kader PMII dan perwujudan ide-ide. Sehingga, bukan sekedar melawan ‘kemungkaran’ tapi juga memberi solusi untuk masalah yang terjadi. Meski begitu, paradigma ini terasa belum ‘peka jaman’. Pasalnya, paradigma ini dan paradigma sebelumnya didesain sebagi resistensi terhadap ‘penindasan’, yang mengabaikan perubahan-perubahn di tingkat global.

PARADIGMA ALTERNATIF
Pendapat Hery Haryanto Azumi tentang paradigma sangat relevan sekali bila dikaji ulang. Menurutnya, paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulatif dan menyesatkan. Dengan selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila peradaban yang hegemonik.
Melihat kenyataan saat ini, Hery sepertinya perlu menawarkan sebuah paradigma alternatif untuk PMII. Bukan melwan arus seperti dua paradigma terdahulu, bukan pula mengikuti arus. Ia menyebutnya paradigma menggiring arus. Dalam hal ini, penulis memiliki kesamaan gagasan dengan paradigma ini.
Secara ringkas, paradigma ini melihat bahwa strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan. Tekanan disini adalah penetrasi struktur global di atas fragmentasi struktur lokal.
Operasionalnya, paradigma ini dapat dimulai dengan langkah sederhana. Dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian seperti pusat kajian pasar bebas, pusat kajian Cina dan sebagainya. Sementara untuk front lokal, dapat dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau untuk membangun jalur-jalur produksi dan distribusi di tingkat lokal yang memungkinkan terjadinya kecukupan di tingkat lokal (nasional) ketika jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front dalam-gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus-menerus menyediakan para pemain untuk didistribusikan di semua front.
Penulis beranggapan, paradigma menggiring arus akan sangat tepat apabila diaplikasikan di masa kini. Paradigma ini diambil dengan pembacaan relita secara terstruktur, perumusan ‘medan tempur’ dan strategi yang jelas. Sehingga, PMII dapat bertahan melewati hari-hari panjangnya membangun peradaban.

PENUTUP
Hakikat pertambahan umur adalah pengurangan umur itu sendiri. Jika saat ini PMII menuju setengah abad usianya, maka sebenarnya waktu yang tersisa untuknya memperjuangkan ide-ide serta merealisasikan visi misi telah berkurang satu tahun. Namun, tidak tepat tentunya jika kita melihat pertambahan umur ini dengan pesimistis. Sebaliknya, jelang setengah abad usia PMII, inilah momentum menuju periode emas.
Adapun hal fundamen yang musti dibenahi di tubuh PMII adalah menyamakan paradigma. Jika realitanya paradigma kritis-transformatif tak begitu berhasil dan mudah dipatahkan. Hadirnya gagasan mengenai paradigma menggiring arus merupakan suatu wacana yang layak diperbincangkan. Mengingat pesatnya laju arus globalisasi beserta kompleksitasnya tersendiri. Tentu semuanya bermuara pada optimalnya perang PMII bagi Islam dan Indonesia.